Friday 20 May 2016

Cerita Sopir Taksi

ilustrasi taksi
Belajar atau mendapatkan ilmu tak harus dari guru, buku dan mbah google. Belajar bisa dari mana saja, kapan saja dan siapa saja. Bahkan kita belajar dari sesuatu tidak disangka – sangka. Atau bahkan kita tidak meniatkan diri untuk belajar atau mencari ilmu, tetapi tanpa sengaja kita mendapatkan sebuah pembelajaran atau ilmu baru. Ibarat kata, kita dapat durian runtuh. Seperti kita mendapatkan rejeki. Hal itu mungkin pernah kita alami. Salah satu pengalaman saya mendapatkan pembelajaran yang tak disangka – sangka adalah sebagai berikut.

Pada hari itu, saya mendapat tugas dari kantor untuk pergi ke suatu tempat. Sialnya, mobil dan driver kantor udah habis dipake orang lain. Dengan terpaksa saya memakai jasa taks untuk menuju ke lokasi tersebut. Begitu pun dengan balik ke kantornya, harus menggunakan jasa taksi. Macet di daerah jakarta dan sekitarnya memang sudah tidak tertolong lagi sepertinya. Di tengah kebosanan akan kemacetan itu, saya ngobrol dengan sopir taksinya.

Obrolan saya buka dengan pertanyaan mengenai perusahaan taksi dan unit usaha laiinya. Saya memang kurang tertarik untuk menanyakan dan membicarakan masalah pribadi. Makanya yang saya tanyakan adalah tentang perusahaan taksinya. Dari satu pertanyaan kecil itu, pak sopir taksi ini cerita ngalor – ngidul sampai buruknya manajemen perusahaan taksinya, menurut perspektif sopir taksi ini tentunya. Saya hanya bisa menanggapi dengan kata oh sambil manggut – manggut dan sedikit senyum. Cerita pun berlanjut dengan keluh kesah penurunan pendapatan sopir taksi ini karena perusahaan menurunkan tarif dan maraknya taksi online dan ojek online. Ajaibnya, bapak sopir taksi ini masih bisa bersyukur akan kondisinya seperti ini, dibanding di tempat kerjanya yang dulu sebelum menjadi sopir taksi.

Dengan sedikit pertanyaan “Memang bapak dulu bekerja di mana sebelum menjadi sopir taksi?”, bapak sopir taksi ini bercerita kalau dia dulu bekerja menjadi sopir di sebuah perusahaan manufaktur baja swasta. Jangan dibayangkan bapak ini menjadi sopir truk atau semacamnya. Tugas bapak ini adalah antar jemput calon customer. Mulai dari antar jemput ke bandara, hotel tempat menginap, makan sampai mengantar dan menemani entertain calon customer tersebut. Kebanyakan calon client itu adalah orang bule dari eropa dan amerika.

Disini bagian menariknya, yang point terakhir.  Seperti saya katakan sebelumnya, bapak ini sering mengantar dan menemani entertain. Bahkan bisa dibilang bapak ini sudah khatam semua tempat hiburan malam di Jakarta dan sekitarnya, mulai dari yang kelas ecek - ecek sampai kelas pejabat dan expat tau semua saking seringnya menemani entertain. Walaupun seperti itu tak sekalipun bapak ini menenggak minuman keras dan mencicipi moleknya wanita – wanita yang ditawarkan. Padahal calon customer yang kebanyakan bule itu menawarinya. Dengan halus bapak itu menolak dengan alasan agamanya (islam) melarang melakukan hal tersebut.

Mendengar jawaban seperti itu, sebagian besar bule respect terhadap bapak ini. Kata bapak ini, menurut kebanyakan bule, banyak orang islam yang munafik. Islamnya hanya sebatas KTP, kelakuanya tidak mencerminakan islam sama sekali.

Kalau para bule respect terhadap bapak itu, saya malah heran. Betapa kuatnya kadar keimanan bapak ini. Sudah ditawari minuman dan wanita dibayari pula, tetapi ditolaknya. Ditengah keheranan itu, bapak ini melanjutkan ceritanya. Dia bilang, kalau kiai dan ulama tidak pernah maksiat wajar karena lingkungannya mendukung, sebaliknya kalau lingkungan penuh kemksiatan tapi tidak ikut – ikutan, itu baru luar biasa. Saya pun manggut – manggut mendengarkannya. 

cerita pun berlanjut. tak hanya Jakarta dan sekitarnya, bapak ini bahkan mengantar para calon customer yang kebanyakan bule itu sampai ke Bandung. Apa lagi kalau bukan entertain mencari awewk di kota kembang itu. Tak hanya mengantar, bapak ini juga menjadi negosiator, tawar menawar harga dengan maminya. tapi yang pasti, bapak ini tidak sekalipun menikmati perempuan - perempuan itu. tetapi, lama kelamaan bapak ini mulai sadar dan mengerti bahwa dosa orang yang bermaksiat dengan orang yang memberikan kemudahan jalan kepada orang yang bermaksiat adalah sama. Karena dosanya sama, akhirnya bapak ini melakukan juga. Karena takut dosa, bapak ini akhirnya memutuskan berhenti menjadi sopir di perusahaan tersebut dan kemudian menjadi sopir taksi.

Jika dibanding dengan menjadi sopir di perusahaan itu, jadi sopir taksi penghasilannya jauh dibawahnya dan tidak menentu. Selain gaji yang lumayan besar, menjadi sopir di perusahaan itu sering mendapat uang tip dari bule yang diantar entertain. Walaupun seperti itu, bapak ini tetap bersyukur. Bapak ini merasa lebih tenang karena tidak kecipratan dosa maksiat orang yang diantarnya.

Akhirnya, obrolan ini pun berakhir ketika kami sampai di kantor kembali.Sepanjang perjalanan itu, saya cukup banyak mendapatkan rejeki. Bukankah ilmu adalah salah satu bentuk rejeki? 


Dari tulisan yang tidak terlalu panjang di atas, dapat kita ambil poinnya
  • Dimanapun, kapanpun dan dengan siapapun kita bisa belajar
  • Orang yang hebat adalah orang yang bisa menjaga imannya walaupun kondisinya sangat tidak mendukung
  • Sebisa mungkin tetap bersyukur dalam kodisi apapun


Pasti yang baca dari atas kesel ya karene inti dari tulisan ini dirangkum di bagian akhir? ha ha


Artikel menarik lainnya :

Nizar Aditya

About Nizar Aditya

I'm an Engineer, Writer and Dreamer