Saturday 16 January 2016

Bom Thamrin, Masyarakat Kurang Piknik dan Aktivis Media Sosial

Bom di Thamrin telah berlalu. Kehidupan di sekitar lokasi kejadian telah kembali normal dalam waktu yang cukup singkat. Awalnya saya tidak mau ikut - ikutan nulis tentang bom Thamrin ini. Tapi kok ya banyak hal yang menggelitik dan menyuruh jari - jari saya menari di keyboard.

Menggelikan rasanya mencermati kejadian itu. Dari sumber yang beredar, masyarakat kita tanpa rasa takut menonton adegan nyata tembak - tembakan dari dekat. Hanya berbatas police line tanpa pelindung diri apapun. Mungkin hanya beberapa orang pengendara motor yang lewat dan kemudian menonton yang masih pakai helm SNI. Tapi itu tidaklah cukup, tubuh mereka sangat mudah ditembus peluru nyasar. Peluru nyasar tak akan berhenti karena ada police line bukan?

Pertanyaannya adalah, kenapa mereka rela panas - panas menonton penyergapan secara live di depan mata kepala mereka tanpa perlengkapan perlindungan apapun?

Masyarakat nonton aksi tembak - tembakan
Kalau masih waras dan berfikir panjang, pastinya mereka bisa lari dan sembunyi di tempat yang aman. Memang sih berani, nekat dan bodoh biasanya beda - beda tipis. Kalaupun mereka memang pemberani, ngapain juga harus ditonton? Selain membahayakan diri mereka sendiri, bisa saja mereka menghalangi aparat yang bertugas untuk menyelesaiakan tugasnya. Apakah mereka tidak berfikir sejauh itu? Ada yang bilang lebih baik mati daripada rasa penasaran tak terobati. Mungkin itulah yang mendasari orang – orang itu menyaksikan kejadian yang menegangkan itu.

Bisa juga mereka adalah aliansi masyarakat kurang piknik. Karena kurang piknik itulah ketika ada peristiwa yang tidak biasa dijadikan tontonan dan hiburan. Cepatnya waktu berjalan dan dan himpitan tuntutan pekerjaan membuat mereka tak punya waktu untuk berlibur. Ketika ada kejadian di luar kebiasaan, jadilah hal itu sebuah tontonan dan hiburan gratis. Syukur – syukur kalau ada awak media datang dan mewawancarainya sebagai saksi mata, numpang tenar deh. Itulah analisa ngawur saya menanggapi banyaknya penonton pada baku tembak di Thamrin pada tanggal 14 Januari 2016.

Salah satu postingan yang menjadi viral
Yang tak kalah menarik adalah fenomena yang terjadi setelahnya. Seakan telah menjadi template, setelah pemboman muncullah hashtag pray-pray an. Tetapi akhirnya pray-pray an itu tenggelam dan digantikan oleh hastag #kamitidaktakut, #jakartaberani dan hastag - hastag yang lain yang kemudian menjadi trending worldwide.

Disamping menyebarnya semangat tidak takut dan berani itu, muncul pula gambar - gambar yang memperlihatkan bagaimana beraninya masyarakat kita terhadap kejadian itu. Ada tukang sate yang masih berdagang walaupun jaraknya hanya 100 meter dari kejadian. Ada orang jualan kacang tak jauh dari tempat kejadian. Tak ketinggalan pula laskar cekrek-upload berpose duckface atau melet di lokasi kejadian sore harinya. Ada pula gambar betapa beraninya masyarakat menyaksikan secara live peristiwa tembak menembak. Dan banyak lagi foto beredar yang memperlihatkan beraninya masayarakat indonesia.

Bukan masalah berani atau apanya, bukankah kalau rame seperti itu menyulitkan petugas yang sedang melakukan olah tkp? Kalau memang itu semua hanya settingan gak apa-apa sih. Lhoh??

Awalnya, maksud dan tujuan menyebarkan gambar - gambar pasca pemboman yang biasanya ditambah hashtag - hashtag itu adalah untuk menunjukkan bahwa masyarakat tidak perlu takut akan kejadian bom itu. Tapi lama - lama kok menjengkelkan juga. Semangat positif keberanian ini lama - lama berubah menjadi nada kesombongan. Sombong bahwa teroris seakan tak mampu membunuh banyak orang. Sebagai orang yang bukan teroris, saya kesal melihat fenomena seperti itu. Kok seakan teroris diremehkan. Bagaimana pula kesalnya jaringan teroris kalau diremehkan seperti itu?


Laskar cekrek - upload sedang beraksi
Ingat, bom kemarin itu masih kelas low explosion, belum yang sedang atau yang besar. Ya semoga yang sedang dan yang besar tidak ada. Tapi saya khawatir kalau kesombongan itu telah menyulut api semangat para teroris untuk kembali membom Jakarta atau kota - kota lain. Saya khawatir pula kalau hashtag dan gambar - gambar itu diartikan oleh teroris sebagai sinyal menantang mereka. Saya berharap sih tidak.

gambar - gambar yang beredar
Untuk itu sudahlah hentikan menyebar gambar - gambar itu. Jangan pula sebar pesan - pesan yang merendahkan teroris yang tak berhasil meneror warga Jakarta. Toh dunia juga sudah mengkui kalau orang indonesia terutama penduduk jakarta itu berani dan tidak takut diteror. Jadi tidak usah berlebihan dalam mengkspresikan keberanian di sosial media. Ingat quote dari patrick star "sesuatu yang berlebihan itu tidak baik".


Artikel menarik lainnya :

Nizar Aditya

About Nizar Aditya

I'm an Engineer, Writer and Dreamer