Ini adalah cerita perjalanan saya beberapa tahun yang lalu, saat saya masih bujang. Sayang kalau cerita perjalanan ini hanya menjadi draft selama lima tahun dan tidak dipublish.
Sudah tiga kali saya melakukan perjalanan ke Lhokseumawe untuk urusan pekerjaan. Dari ke-tiga kali kunjungan saya ke bumi Aceh, belum sekalipun saya pergi ke tempat wisatanya. Pada kunjungan yang ke-tiga ini saya bertekad untuk pergi ke tempat paling ujung kepulauan nusantara ini, pulau Weh.
Waktu yang ditentukan telah tiba. Jumat, 14 Februari 2020 pukul 21.30 mobil travel yang telah deipesan sebelumnya telah datang. Teman - teman kerja saya tidak ada yang mau diajak berangkat karena sudah pernah. Akhirnya saya putuskan untuk berangkat sendiri. Kapan lagi bisa berangkat ke pulau paling ujung nusantara kalau tidak dipaksakan seperti ini. Apalagi dari kota Lhokseumawe relatif lebih dekat daripada dari Surabaya untuk ke pergi ke pulau Weh.
Sepanjang perjalanan saya hanya tidur saja sehingga tanpa terasa mobil travel yang mengantar saya sudah sampai di pelabuhan Ule Lheue. Sampai di sini jam 4 pagi dan masih sangat gelap. Subuh juga masih agak lama, pukul 5.30. Jadi masih ada waktu setengah jam untuk melanjutkan tidur lagi di kursi ruang tunggu.
Walaupun masih ngantuk dan sudah berusaha memejamkan mata, tetap saja tidak bisa tidur lagi. Hingga akhirnya terdengar sayup - sayup suara adzan subuh dari kejauhan. Mendengar adzan subuh, orang - orang langsung bergerak ke sebuah tempat. Saya yakin tempat tersebut adalah musholla pelabuhan. Sayapun ikut arus orang - orang tersebut, benar saja tempat tersebut adalah musholla.
Selesai sholat saya menuju tempat tunggu lagi untuk antri tiket, namun loket masih akan dibuka pukul 7. jadi saya harus menunggu sekitar 1 jam lagi. Di sini ada dua jenis kapal untuk menuju ke pelabuhan Bolahan di pulau Weh. Dua jenis kapal itu adalah kapal cepat dan kapal lambat. Harga tiket kapal cepat adalah 80 ribu, sedangkan kapal lambat 30 ribu. Untuk penamaan emang cukup aneh sih menurut saya. Untuk kapal cepat dimana - mana pakai nama itu, kalau kapal lambat hmmm kurang enak di dengar aja. Lebih baik menggunakan nama kapal ekonomi atau yang lain.
Setelah menunggu hampir satu jam akhirnya loket kapal cepat dibuka. Untuk memesan tiket harus menunjukkan KTP. Sepertinya sekarang sudah menjadi SOP di mana - mana untuk menunjukkan KTP ketika membeli tiket alat transportasi. Selain untuk mengurangi praktik percaloan, hal ini juga memudahkan untuk memonitor manifest kapal. Selesai mendapatkan tiket, para calon penumpang dipersilahkan untuk menuju ruang tunggu di dalam gedung.
Ruang tunggu |
Tak berapa lama kemudian, para penumpang dipersilahkan untuk boarding ke dalam kapal. Proses masuk ke dalam kapal harus menunjukkan KTP diperiksa apakah nama di tiket sesuai dengan KTP, seperti ketika mau boarding di pesawat atau kereta api.
Penampakan kapal cepat |
Masuk ke dalam kapal penumpang diarahkan ke nomor kursi yang sesuai dengan nomor yang tercetak di tiket, jadi penumpang pasti dapat tempat duduk. Itu adalah SOP di kapal cepat. Kalau di kapal lambat seperti ini apa tidak saya tidak tahu. Kursi yang disediakan juga cukup nyaman, kursinya seperti bus kelas eksekutif, lebar dan nyaman. Ditambah lagi di depan ada layar super lebar untuk entertainment, ya walaupun yang ditampilkan hanya video clip music yang sedang diputar. Tapi sebelum berangkat layar lebar itu difungsikan untuk induction ketika terjadi keadaan darurat.
Empat puluh lima menit telah berlalu ditemani video clip Nisya Sabyan, kapal mulai menurunkan kecepatan. Karena posisi di tengah saya tidak bisa melihat apakah kapal memang sudah sampai pelabuhan Bolahan atau belum. Ternyata benar, kapal sudah mendekati dermaga untuk sandar.
Keluar dari kapal, para penumpang langsung disambut oleh orang - orang yang menwarkan jasa. Ada jasa persewaan motor, persewaan mobil dan lain lain. Tak perlu berfikir lama, akhirnya saya langsung mengiyakan tawaran orang untuk menyewa motornya. Sebelumnya saya memang sudah mencari informasi harga sewa sepeda motor di sabang ini. Abang ini menawarkan harga sewa 100 ribu per hari, sesuai dengan informasi yang saya dapat. Kunci motor telah di tangan namun tanpa STNK. Abangnya bilang di sini aman, gak pernah ada razia, kalo ada apa - apa telfon saja no dia. Akhirnya saya langsung keluar area pelabuhan dan menuju ke pusat kota Sabang.
Jalan ke arah kota sabang cukup mudah, tinggal mengikuti jalan utama saja. Kalaupun ada percabangan, perempatan dan pertigaan, ambil jalan yang besar, pasti mengarah ke kota sabang. perjalanan terasa asyik dan menyenangkan walaupun sendirian. Jalan berkelok, naik turun kanan kiri kadang hutan, kadang perumahan dan kadang pantai. Tak sampai setengah jam, sampailah di kota sabang.
Pemandangan di pinggir jalan |
Gapura kota sabang |
Sesampainya di kota, bingung mau ngapain. Seperti ini memang kalau gak ada teman, jadi gak ada yang diajak diskusi buat ide apa lagi. Akhirnya melipir ke pinggir pantai di gazebo untuk menikmati pemandangan pinggir pantai. Bukannya tak menarik, tapi memang bosan saja lama - lama di sini, gak ada yang bisa diajak untuk ngobrol, sepi memang.
Pantai Paradiso kota Sabang |
Penampakan pantainya |
Sebuah taman di kota sabang |
Mendung terlihat mulai datang. Memang bulan februari masih musim penghujan, jadi wajar kalau akan hujan. Daripada saya terjebak di sini kehujanan, akhirnya saya putuskan untuk menuju titik KM Nol. Berbekal google maps dan papan petunjuk jalan, menuju lokasi titik KM Nol cukup mudah. Jalannya berkelok, naik turun namun kualitas jalannya cukup bagus, namun tidak banyak kendaraan yang lewat. Mungkin karena orang sini gak setiap saat menuju ke titik KM Nol. Mendekati titik KM Nol hutan cukup lebat ada di kanan kiri jalan. Mendung yang mulai menebal menambah kesan sendu pada perjalanannya. Tak berapa terlihat gapura selamat datang di kawasan titik KM Nol Sabang. Melihat tanda ini saya sangat senang, karena naik motor sendirian di hutan terasa sedikit menakutkan.
Gapura titik KM Nol sabang |
Dibalik gapura telah terlihat mobil dan sepeda motor terparkir di pinggir jalan. Tidak banyak memang, tetapi mengindikasikan bahwa di situ ada keramaian. Memasuki gerbang disambut oleh tukang parkir dan diarahkan untuk parkir. Seperti kebanyakan tempat parkir di tempat wisata, tarif parkir di sini juga lebih mahal dari tarif parkir di tempat biasa. Tarif parkir di sini sebesar sepuluh ribu rupiah, ya menurutku sih tarif wajar di tempat wisata.
Awan semakin gelap dan siap menumpahan airnya ketika saya berjalan kaki menuju tugu KM Nol dari tempat parkir. Walaupun ini masih jam 11 siang yang harusnya terasa terang benderang dan panas menyengat, tetapi ini sangat gelap dan terasa sendu. Benar saja, jalan santai saya harus ditingkatkan kecepatannya karena rintik hujan telah jatuh dan bahkan berlari. Sesi foto- foto yang selayaknya dilakukan harus ditunda dulu karena hujan sangat lebat dan tidak memungkinkan untuk foto - foto. Langsung saja saya berlari ke warung untuk berteduh dan makan siang sekalian.
Hujan seperti ini memang enak kalau makan mie kuah hangat. Saya pesan mie kuah dan milo hangat untuk menunggu hujan reda. Warung ini cukup menarik, viewnya adalah samudra hindia. Namun sayang sekali viewnya kurang terlihat karena hujannya sangat lebat. Bahkan saking lebatnya, tempat saya menikmati mie kuah kena tempias air hujan.
View dari warung yang menghadap ke samudra hindia |
Satu jam berlalu, hujan mulai mereda. Saatnya foto - foto telah tiba. Luas area tugu KM Nol ini teidak begitu besar. Tidak sampai sepuluh menit semua sudut di Area ini sudah terabadikan di dalam memory HP. Tidak afdol rasanya kalau wajah saya tidak nampak di kumpulan foto - foto ini. Terlihat sekelompok anak muda yang sedang asyik foto - foto saya mintai tolong untuk memfoto saya duduk di tulisan KM Nol. Foto ini akan saya jadikan bukti sahih kalau saya pernah menginjakkan kaki ujung barat negara Indonesia. Semoga titik paling timur di Merauke sana bisa saya singgahi juga suatu saat nanti. Aamiin.
Berbagai sudut kawasan KM Nol |
Berbagai sudut kawasan KM Nol |
Berbagai sudut kawasan KM Nol |
Berbagai sudut kawasan KM Nol |
Berbagai sudut kawasan KM Nol |
Berbagai sudut kawasan KM Nol |
Berbagai sudut kawasan KM Nol |
Hujan sudah sepenuhnya reda, dan saya merasa capek ingin sekali rebahan. Lagipula tidak ada hal lain lagi yang bisa dieksplore di tempat ini. Akhirnya saya putuskan untuk menuju penginapan yang telah saya pesan sebelumnya melalui aplikasi. Tempat penginapan yang saya pesan tidak terlalu jauh dari lokasi ini. Tetapi harus melewati hutan dan jelan berkrlok yang sebelumnya saya lewati. Sial tak dapat dihindari, saat perjalanan menuju ke penginapan hujan turun lagi dan sedikit membasahi pakain yang saya kenakan.
Sampai penginapan langsung cek in dan bebersih. Penginapan yang saya sewa ini cukup murah, hanya sekitar 130 ribu rupiah. Dengan harga segitu, tidak ada fasilitas istimewa yang saya dapatkan. Kamar mandi berada di luar dan tidak mendapatkan sarapan. Meskipun begitu, view yang ditawarkan cukup menarik karena menghadap langsung ke arah pantai.
View dari depan penginapan |
Pagi buta setelah subuh saya bergegas menuju ke pelabuhan Bolohan. Dari penginapan ini, rute yang saya ambil berbeda dari rute yang kemarin siang. Saya langsung ambil ke arah pelabuhan tanpa harus melewati kota sabang, sesuai dengan maps dan papan petunjuk yang ada di jalan. Karena masih gelap, dan harus melewati hutan - hutan, perjalanan terasa sedikit menakutkan ditambah lagi sangat jarang berpapasan dengan kendaraan lain. Benar saja, saat motor melaju cukup kencang, tiba - tiba babi hutan dengan tubuh yang cukup besar melintas memotong jalan. Seketika motor langsung saya kurangi kecepatannya. Tetapi si babi tidak merasa terganggu dan langsung menghilang di dalam hutan.
Selain hutan, perjalanan kadang disuguhi pemandangan indah tepi pantai yang dilihat dari tebing. sungguh memukau. Ingin sekali mengabadikan momen itu. Tetapi rasa takut saya lebih besar karena tempatnya sepi sehingga saya putuskan untuk tetap melaju sampai ke pelabuhan.
Tidak sampai setengah jam perjalanan, peradaban mulai terlihat, mulai banyak rumah dan aktivitas warga juga mulai ramai. Hal ini mengindikasikan bahwa pelabuhan sudah dekat. Memang benar, tidak sampai satu kilometer saya sudah sampai pelabuhan.
Sampai di pelabuhan, motor saya parkir di tempat kemarin pada saat saya ambil. Namun, abang yang punya motor tidak terlihat, lalu saya telfon abangnay dan bilang bahwa saya mau mengembalikan motornya. Dengan santainya abangnuya bilang untuk meninggalkan motornya di situ saja dan memasukkan kuncinya di bagasi kecil depan bawah stang. Mungkin di sini cukup aman ya sehingga tidak ada orang yang khawatir motornya akan dicuri.
Tak lama setelah itu, saya langsung menuju ke loket pembelian tiket. Seperti kemarin, saya membeli tiket kapal cepat. Kapal cepat akan berangkat pada pukul delapan, jadi masih ada waktu bagi saya untuk membeli sarapan dan berkeliling di sekitar pelabuhan ini.
Sesai dengan jadwal, kapal berangkat meninggal pelabuhan Bolohan dan pulau Weh ini. Dengan ini pula petualangan saya di ujung barat indonesia berakhir. Mungkin suatu saat saya akan berkunjung lagi ke pulau ini dengan keluarga. Menikmati keindahan dan keseruan pulau ini dengan anak dan istri bisa diagendakan ke depan. Semoga ada rejeki untuk datang kembali ke pulau ini lagi.
Jalan - Jalan