Sabtu, 05 Desember 2015

Tidak Ikut - Ikutan Bicara Soal Lamborghini Maut



Seminggu ini pemberitaan mengenai lamborghini menabrak penjual stmj di Surabaya menjadi headline. Namun masih belum bisa mengalahkan berita menganai catut mencatut. Setidaknya berita tidak hanya mengenai masalah gengnya SN dan gengnya SS. Yah, walaupun itu semua sama - sama berita buruk.

Seperti judul, saya tidak akan membahas masalah laborghini maut tersebut. Kasian si pelaku dan korban kalau terus menerus di bahas. Pihak berwenang sudah menangani masalah ini kok. gak usah lah kita ikut - ikutan.

Mengenai masalah tabrak menabrak, saya juga punya pengalaman menabrak. Tepatnya menyerempet sampai terjatuh.Kala itu, ketika saya di jakarta saya sedang menyetir mobil sport mewah, sebut saja isuzu panther. Bagi yang tahu bagaimana sumpeknya jalan raya bogor minggu sore, bayangkan sendiri. Itu kejadian waktu saya tidak sengaja menyerempet motor ninja 250cc. 

Ceritanya seperti ini. Waktu itu saya masih belum terlalu mahir mengendarai mobil. Kebetulan waktu itu mobil kantor sedang menganggur. Saya pakai saja mobil kantor untuk menambah skill nyetir saya dengan membawanya jalan - jalan. Mumpung hari minggu pikir saya. Saya lupa kalau hari minggu sore adalah waktu orang Jakarta kembali dari bogor. Penuhlah kalan raya bogor itu. Mobil hanya merangkak di tengah sesaknya jalan. Ditambah lagi ada jalan putar balik, tambah macet jalanannya karena harus menunggu kendaraan lain untuk putar balik.

Disini musibah itu terjadi. Sebelum putar balik pasti jalan akan penuh dan macet karena adanya bottle neck. Mobil berjalan pelan dan masih bisa kukendalikan. Sampailah saya pada dekat putar balik. Terlihat sudah sepi dan pak ogah yang menyetop saya telah memberi isarat untuk melanjutkan perjalannanku. Sial, saya tidak melihat ada sebuah motor yang nyelonong di sebelah kiri. Untung saja mobil tidak melaju kencang, tapi cukup memmbuat motor itu terguling dan footstep sebelah kiri sedikit bengkok hingga presneling tidak bisa digerakkan.

Saya akui saya salah karena tidak memperhatikan sebelah kiri. Pengendara juga mengaku salah karena nyelonong. Tapi namanya mobil pasti lebih salah. Itulah paham yang dianut sebagian besar masyarakat indonesia. Termasuk saya kala itu. Karena saya tidak mau memperpanjang masalah, saya kasih saja ganti rugi beberapa ratus ribu. Lebih baik saya keluar duit beberapa ratus ribu daripada berurusan dengan polisi karena saya belum punya sim A kala itu.

Dari cerita saya itu, kenapa yang punya kendaraan lebih besar selalu dianggap lebih bersalah? Padahal kita tahu, pengendara motor selelu mengendarai motornya seenak udelnya senndiri. Terus ketika terjadi kecelakaan dengan kendaraan lebih besar karena ulahnya sendiri pasti selalu kendaraan lebih besar itu yang dipersalahkan. Paham macam apa ini?

Lupakan masalah salah menyalahkan. Saya akan membahas mengenai hal yang perlu disiapkan sebelum mengendarai kendaraan, Driving License atau SIM.

Seperti yang saya jelaskan di atas, Jalanan kita seringkali penuh dengan kendaraan. Kendaraan tersebut sudah pasti ada manusia yang menjalankannya. Saya yakin seyakin yakinnya kalau para pengendaranya memiliki SIM, walaupun memiliki SIM berarti paham akan rambu – rambu lalu lintas.

Kebanyakan para pengendara sepertinya tidak bisa baca rambu lalu lintas. Seperti nyelonong saat lampu merah. Gak mau berhenti di belakang garis putih saat lampu merah, berhenti di tanda s coret dan masih hanya lagi. Kalau misal kita tidak mengikuti kebanyakan orang, pasti kita merasa kita yang salah. Aneh bukan? Yang salah siapa, yang merasa salah siapa.

Saya rasa hal ini terjadi karena kebanyakan dari mereka, termasuk saya juga sih, mendapatkan SIM dengan cara yang sangat gampang dan murah. Disinilah kebudayaan pragmatis kita kelihatan. Cuma bayar beberapa kali lipat dari biaya resmi, kita telah medapatkan sim tanpa ikut tes. Tes hanya formalitas belaka. Bagaimana bisa mengerti rambu, lha wong dapat SIM saja tanpa tes sehingga tidak perlu tahu rambu- rambu lalu lintas yang ada.

Mau lewat cara yang jujur tanpa calo dan orang dalam? Menurut kabar yang beredar sih dipersulit. Ditambah lagi, ditengah kesibukan kita, pasti kita tidak mau berkali – kali ujian SIM bukan?

Entah sejak kapan budaya ini dimulai. Semoga program revolusi mental segera bisa mengubah budaya buruk kita. Tidak Cuma sekedar website. 


Artikel menarik lainnya :

Nizar Aditya

About Nizar Aditya

I'm an Engineer, Writer and Dreamer