Aku duduk di sofa apartemenku, ditemani oleh kesendirian. Jam di layar jendela menunjukkan pukul 18.23, cukup waktuku untuk berfikir sampai jam delapan nanti.
Peristiwa hari ini adalah peristiwa yang tidak biasa dalam hidupku. Aku berani telat datang ke kantor setelah lima tahun bekerja. Tetapi bukan itu yang membuat luar biasa. Pak Guntoro lah yang sukses membuat setengah hariku kugunakan untuk berfikir mengumpulkan puzzle pertanyaan yang sampai sekarang belum kutemukan jawabannya.
siapa sebenarnya pak Guntoro? Bagaimana dia tau semuanya? Untuk apa dia menawariku sebuah pekerjaan? Semakin aku berfikir, semakin aku menyadari bahwa otakku sangat tumpul. Berfikir seperti ini membuat kepalaku pening dan akhirnya menemui jalan buntu. Jika memungkinkan, ingin aku upgrade otakku ini. Sepertinya sudah ketinggalan jaman prosesornya.
Rasa penasaran dan kemampuan berfikirku yang seadanya ini membuatku memututskan untuk menerima saja tawaran pekerjaan yang ditawarkan oleh pak Guntoro. Hanya satu cara untuk menjawab semua pertanyaan ini. Yaitu menerima tawaran pak Guntoro. Itu artinya jam delapan nanti kuletakkan tanganku di reader untuk mendapatkan tiket pesawat untuk keberangkatanku besok.
Tunggu dulu. Aku tidak boleh langsung menerima saja tawaran itu. Banyak hal yang harus aku pertimbangkan. Bagaimana kalau sebenarnya pak Guntoro itu orang jahat yang akan memanfaatkanku? Bagaimana dengan pekerjaanku yang sekarang? Aku meninggalkannya begitu saja tanpa pamit?
Aku juga takut untuk meninggalkan pekerjaanku yang sekarang. Takut kalau nanti pekerjaan yang ditawarkan pak Guntoro tidak sesuai dengan espekatsiku. Kemudian setelah aku kembali, aku telah dipecat. Terlalu beresiko.
Ah... Rasa penasaran dan rasa takutku seoalah bertarung sengit memperebutkan perhatianku agar aku memilih salah satu.
"Hey kau rasa takut, menyingkiralah dari fikiran Arif!" Teriak rasa penasaran sambil meninju muka rasa takut.
" Berani sekali kau meninju mukaku" kata rasa takut sambil memegang rahangnya yang kena tinju
"Itu akibatnya kalau kau berani mempengaruhi arif" balas rasa penasaran dengan sombongnya
"Sombong sekali kau. Nih rasakan pembalasanku" kata rasa takut sambil meninju perut rasa penasaran.
Sepertinya rasa takutku mulai memenangkan pertarungan. Aku mulai ragu untuk menerima tawaran pak Guntoro.
Masih ada waktu setengah jam lagi sebelum jam delapan. Ayo berfikir. Berfikir. Mana yang terbaik.
Semakin mendekati jam delapan semakin membuatku tak bisa mengambil keputusan. Rasa takutku semakin menguasai jalannya pertarungan yang membuatku ragu untuk menerima tawaran pak Guntoro.
Jam telah menunjukkan pukul delapan. Muncul pesan di layar jendela yang berisikan tiket buat perjalananku esok hari. Di saat terakhir, rasa penasaran berhasil membuat K.O rasa takut dengan meninju meninju bawah dagu rasa takut. Aku tempelkan tanganku di reader dan tiket telah berhasil ditransfer ke dalam chip dna dalam tubuhku. Tanpa keraguan aku siap untuk menerima tawaran pak Guntoro.
Apa yang terjadi setelahnya, aku gak peduli. Aku butuh suasana baru dalam hidupku. Aku mencoba keluar dari zona nyamanku.
*********************
Aku keluar dari apartemenku berjalan ke stasiun sekitar jam 8. Lebih siang sedikit dari biasanya aku berangkat ke kantor. Suasana stasiun sudah sepi. Jam segini orang - orang telah berada di kantor. Melakukan rutinitas yang membosankan itu.
Aku masih belum tahu kemena tujuanku. Di tiketnya tidak menunjukkannya. Aneh memang. Bisanya setiap tiket menunjukkan tujuannya ke mana. Ini hanya jam keberangkatan, tempat sama maskapai. Tidak ada petunjuk mau dibawa kemana aku.
Bodohnya aku. Kenapa aku memikirkan hal itu sambil berdiri? Banyak kursi kosong disana sini. Kebiasaan berdiri di kereta setiap hari membuatku lupa untuk duduk. Rutinitas mebuat otak bekerja secara otomatis.
Saatnya ganti kereta arah bandara. Stasiun transit ini lebih megah dari pada statsiun lainnya. Keretanya juga berbeda. Lebih bagus dan lebih nyaman. Harga memang tak pernah bohong. Heran saja,kenapa harus dibedakan fasilitas antara kereta dalam kota dan kereta ke bandara? Apa dipikir orang yang menuju bandara itu orang berduit dan dikasih fasilitas lebih?
Ah, ngapain juga aku pikirin. Otakku tidak ada tempat untuk memikirkannya. Urusanku sendiri masih belum kelar kupikirkan.
Tidak seperti kebanyakn orang yang kerepotan pindah kereta karena banyaknya barang bawaan, aku pindah kereta dengan santainya. Aku tidak membawa barang apapun. Hanya sebuah smartphone. Kalau memang pekerjaannya tidak cocok kan tidak usah repot - repot bolak – balik membawa barang bawaan yang banyak.
Sama seperti di stasiun transit. Di stasiun bandara menuju menuju counter check in tanpa ribet seperti orang lain. Aku check in di counter maskapai kambing terbang.
Setelah check in baru tahu kalau tujuanku adalah Jayapura. Sampai disini, puzzle yang terkumpul semakin banyak. Semuanya belum sempat aku susun. Tak ingin membuat otakku berfikir terlalu keras memikirkan apa sebenarnya pekerjaan yang akan diberikan kepadaku nanti, aku memilih untuk mengikuti arus. Mengikuti semua kejutan – kejutan yang akan datang lagi tanpa memikirkannya.
Tak lama berselang, pengumuman bahwa penumpang peswat kambing terbang tujuan Jayapura untuk segera masuk ke dalam pesawat. Itu berarti aku harus segera masuk ke dalam pesawat.
Sampai di dalam sebuah kejutan menghampiriku lagi. Tak kusadari ternyata tiketku adalah tiket first class. Perusahaan macam apa yang memberikan fasilitas semacam ini kepada calon pegawainya yang belum tentu sepakat untuk bekerja sama.
Tak mau ambil pusing. Kunikmati saja fasilitas firs class ini. Nonton film sambil tiduran. Pejalanan tiga jam ini lebih baik kuhabiskan nonton film berudrasi panjang sambil tiduran.
Tak terasa sebuah film Bolliwood yang berdurasi 2 jam 45 menit telah selesai. Mungkin sebentar lagi pesawat akan landing. Benar, mbak pramugari mengumumkan untuk segera menegakkan kursi dan segera memakai sabuk pengaman. Berarti tak lama lagi pesawat akan landing.
Sampai di bandara Sentani aku tak mau harus kemana. Aku berdiri tengok kanan tengok kiri berharap pak Guntoro telah menjemputku. Sampai lima belas menit tak kutemukan batang hidung pak Guntoro.
Di tengah putus asa, dua orang berbadan tinggi besar berbaju serba hitam memakai kacamata hitam dan badannya pun juga hitam tiba – tiba menggandeng tanganku. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut mereka. Bahkan aku bertanya tak ada timbal balik yang aku dapatkan. Hanya derap sepatu mereka yang menjawab seakan dengan nada mengancam
Aku pasrah saja mau dibawa kemana. Mau melawanpun aku juga tak kuasa. Melwan dua orang berbadan atletis adalah tindakan yang mustahil bagiku. Bagiku, ini adalah kejutan rangkain puzzle yang kembali mengejutkanku. Lebih baik mengikuti arus saja.
Aku dibawa ke sebuah mobil. Kuharap pak Guntoro telah berada di dalamnya. Setelah disuruh masuk yang kudapati hanya kekecewaan. Tak kutemukan pak Guntoro di dalam. Hanya seorang supir dengan kacamata hitam, namun tak berkulit hitam seperti dua orang yang menggiringku.
Kemudian sang supir berkata “Selamat datang. Semoga perjalanan kita nanti menyenangkan”