Sayup – sayup adzan dzuhur terdengar dari kejauhan. Sudah tiga jam berarti aku tidur siang. Ehm, tidur pagi menjelang siang maksudku. Malas sekali rasanya beranjak dari tempat tidur. Setelah berjuang melawan rasa malas selama lima belas menit akhirnya aku berjalan malas ke kamar mandi. Sampai kamar mandi, kulakukan ritual seperti biasanya, jongkok di WC duduk. Tidak perlulah aku ceritakan apa yang aku lakukan, semua pasti paham.
Dari mulai masuk kamar mandi sampai selesai memakai baju dan siap berangkat kubutuhkan waktu setidaknya tiga puluh menit. Bukan, aku bukan pria metroseksual yang suka dandan. Porsi waktu paling lama adalah ketika aku jongkok tadi. Selebihnya, bisa kulakukan dengan cepat. Setelah semuanya siap, aku berjalan keluar dari aparteman.
Aku berjalan keluar apartemen menuju stasiun. Beuh, panas sekali rasanya. Tidak pernah aku keluar dari gedung siang – siang seperti ini. Pantas saja jarang orang jalan kaki jam segini. Untung saja banyak pohon – pohon besar yang ditanam di pinggir – pinggir trotoar, sedikit mengurangi panasnya udara di musim kemarau ini.
Aku terus berjalan sambil menyanyikan lagu – lagu populer. Judul demi judul kunyanyikan. Seringkali lagu terhenti di tengah karena lupa lirik. Saat seperti itu, langsung saja kusambungkan dengan lagu lain yang hafal. Aku gak peduli mau seperti apa laguku yang kunyanyikan jadinya. Dari awal memang tidak layak didengarkan oleh orang lain karena fales. Masa bodoh, yang penting aku nyanyi.
Sedang asik – asiknya nyanyi, ada seorang bapak – bapak berbadan besar berkulit sawo matang menyapaku. Lihat perawakannya, bapak ini seperti tentara. Dilihat dari sepatunya memang tentara sepertinya. Tetapi dai tidak berseragam. Celana yang dipakainya pun adalah blue jeans.
“Siang mas Arif, kok baru berangkat jam segini?” kata pria itu dengan senyum sambil melepas kacamata hitamnya
“Eh, iya pak. Bangun kesiangan soalnya pak. He he” jawabku kaget sambil bertanya dalam hati, siapa bapak ini.
“Oh, siang banget mas bangunnya? Pasti habis nonton dua filem semelem. Yaudah, hati – hati mas di jalan” balas bapak itu seolah gak butuh jawaban atas pertanyaanya .
“Iya pak, makasih. Saya permisi dulu pak” jawabku sambil lanjut jalan
Sambil berjalan, aku terus mengingat – ingat siapa bapak itu. Pernah bertemu dimana kok dia tau namaku. Apa dua tetangga baru. Tau dari mana juga kalau aku semalam nonton dua judul film.
Otakku tak bisa multitasking. Berjalan dan berfikir ternyata tak bisa kulakukan bersamaan. Tanpa kusadari aku berdiri terpaku di tengah trotoar. Ah, bodo amat. Siapa dia aku gak peduli. Nanti saja di kantor aku mengingatnya.
Kumulai melanjutkan langkahku menuju stasiun. Kulajutkan dedangan dan siulanku untuk menemani jalanku. Tiba di stasiun kulihat tidak terlalu banyak penumpang. Kontras sekali dengan keadaan pada saat pagi atau sore. Seperti biasa, kutempelkan ke reader tanganku untuk membuka gate menuju ruang tunggu. Frekuensi kedatangan kereta memang lebih sedikit pada siang hari dibandingkan pada saat pagi atau sore. Jadi ya harus sedikit sabar menunggu beberapa saat.
Akhirnya kereta yang kutunggu – tunggu datang juga setelah 15 menit menunggu. Biasanya, pada pagi dan sore kereta akan datang setiap lima menit sekali. Maklum pada jam – jam itu memang penumpang sangat banyak. Aku masuk perlahan ke dalam rangkaian kereta. Kulihat banyak bangku yang kosong. Akhirnya bisa duduk juga. Tidak pernah aku duduk di kereta pada saat berangkat dan pulang kantor. Baru kali ini aku duduk di kursi kereta.
Sepuluh menit kemudian kereta sampai di stasiun dekat kantor. Ketempelan tangaku di reader untuk membuka gate pintu keluar dan sekaligus untuk mengkonfirmasi bahwa aku turun di stasiun ini dan kredit e-money ku terpotong. Keluar stasiun, terik matahari menghujani tubuhku. Tak mau lama – lama terpanggang serangan tajam terik matahari, kupercepat langkahku.
Akhirnya sampai juga di kantor. Rindu sekali akau dengan segarnya AC. Sebenarnya di statsiun dan kereta tadi sudah bercengkrama dengan udara AC. Tetapi panasnya udara luar membuatku sangat merindukan AC di dalam ruangan. Kulihat semua orang sibuk dengan pekerjaannya masing – masing. Tak ada yang peduli dengan kehadiranku. Aku juga ragu mereka tahu kalau aku dari pagi belum ada di kantor. Hanya mang Dadang yang mendatangiku lalu menawari minuman. Mang Dadang adalah office boy di kantor kami. Aku memesan secangkir teh hijau untuk menyegarkan fikiranku agar bisa mengingat – ingat siapa sebenarnya bapak yang menyapaku tadi.
“Ini mas teh nya. Kok baru datang jam segini?” tanya mang Dadang sambil menyerahkan secangkir teh hijau.
“Gak apa – apa mang, iseng aja” jawabku sekenanya
“Ada – ada aja mas Arif ini. Telat kok iseng. Yaudah mas, saya permisi dulu”. Mang Dadang mohon diri.
“Iya mang. Makasih ya teh nya” jawabku setengah teriak karena mang dadang telah beranjak
Seruput demi seruput teh yang ada di cangkir kuminum sambil berharap ingat dengan bapak yang menyapaku tadi. Semakin kuingat – ingat semakin aku tak mampu mengingatnya. Aku berdiri dan berjalan perlahan menuju jendela. Kubawa cangkir teh di tangan kanan. Kulihat diluar jendela hanya orang berlalu lalang di jalanan. Kutoleh sedikit ke kiri kulihan warkop cak imron tidak terlalu ramai. Hanya tiga orang yang nongkrong disana. Kutatap dalam – dalam ke warkop cak imron. Samar - samar terlihat seperti sosok yang menyapaku tadi. Terlihat dia sedang asik menyeruput segelas kopi di sana.
Walau daya ingatku tidak bagus, tapi aku yakin bahwa yang terlihat itu adalah bapak yang menyapaku. Dari pakaiannya, Celananya, Separunya dan kacamata hitamnya sama. Cuma mukanya aku tidak terlalu ingat. Biasa memang aku tidak terlalu bagus untuk mengingat muka orang yang baru dikenal. Apalagi aaku masih ragu apakah aku telah mengenal bapak itu atau belum
Kehadiran bapak itu di warkop cak imron semakin membuatku penasaran. Siapa sebenarnya bapak itu. Sempat berfikir untuk turun dan menemui bapak itu. Aku ingat ini masih jam kerja. Tidak etis rasanya nongkrong di warkop saat jam kerja. Seperti tidak ada kerjaan saja.
“Oh iya, aku kan memang lagi gak ada kerjaan. Gak ada salahnya aku nongkrong disana” kataku dalam hati.
Bergegas aku turun ke lobby dan menuju warkop cak imron. Dari kejauhan bapak itu tengah asik menyeruput kopinya.
“Cak, kopi satu gelas” kataku kepada cak imron sambil duduk dekat bapak tinggi besar itu.
“Siap mas. Kok jam kerja malah disini?” balsa cak imron sambil bertanya
“Gak ada kerjaan. Daripada bengong di kantor” Balasku
“Maaf pak, bapak yang tadi menyapa saya kan?” tanyaku sambil menoleh ke bapak itu
“Iya mas Arif. Mas Arif tidak tahu siapa saya?“ balas bapak itu
“Iya pak, saya penasaran kok bapak tahu nama saya? Padahal seingat saya, kita belum pernah saling mengenal” balasku.
“Kalau begitu, perkenalkan saya Guntoro” Kata pria itu
“ Saya ingin menawari mas Arif pekerjaan kalau mas Arif mau” lanjutnya
“Pekerjaan apa pak?” tanyaku pensaran
“Saya tahu mas arif ini bosan dengan pekerjaannya. Ditambah lagi beberapa bulan ini mas arif tidak diberi tanggung jawab untuk mengerjakan sebuah pekerjaan bukan?”
“Mas Arif butuh sesuatu yang beda kan?”
“Mas Arif bosan kan dengan kehidupan mas Aif yang monoton?”
Aneh sekali, pak Guntoro tahu semua tentang kehidupanku. Apakah dia seorang dukun atau permal. Belum sempat aku menjawab semua pertanyan, pak Guntoro, dia lanjut bicara lagi.
“Kalau mas arif tertarik dengan pekerjaannya, nanti malam sekitar jam delapan tempelkan tangan mas arif ke reader di rumah mas arif. Besok pagi jam silahkan ke bandara Soekarno – Hatta. Mas Arif akan terbang jam sepuluh” Kata pak Guntoro sambil berdiri lalu pergi tanpa membayar kopi yang diminumnya
“Cak imron, bapak itu siapa” Tanyaku pada cak imron penasaran
“Walah mas, saya juga gak tahu mas. Dia juga baru sekali nongkrong disini” jawab cak imron
“Gak bayar pula dia” sahutku
“sudah kok mas, ini barusan ada pemberitahuan kalau dia telah membayar dua gelas kopi. Padahal dia kan cuma minum satu gelas” balas cak Imron
“Dia bayar lewat rekening. Kok tahu ya dia rekening saya?” lanjut cak imron
“Tambah aneh lagi orang itu, pergi tanpa permisi, bayar dua gelas pula. Mungkin satunya buat bayarin kopi saya cak. Ha ha” sahutku sambil tertawa.
“Iya deh mas. Rejeki mas Arif mungkin” balas cak imron
Siapa sebenarnya pak Guntoro ini? Dia tahu segalanya tentangku. Sampai rekening payment cak Imron pun dia juga tahu. Pak guntoro ini telh sukses membuat saya tambah pensaran. Ditambah lagi dia menawari sebuah pekerjaan yang misterius juga. Apakah dia bos perdagangan ilegal yang sedang mencari Agen? Ah, terlalu banyak nonton film. Mana mungkin aku yang seperti ini mau dijadikan agen rahasia. Ada ada saja.
Fiksi , Sci-Fi Series