Jumat, 08 November 2024

Akhirnya Aku Menemukanmu

Mendekati usia kepala tiga, tepatnya di usia dua puluh sembilan, dengan status single atau jomblo, adalah pengalaman yang bisa terasa kurang menyenangkan. Di saat banyak teman sebaya mulai jarang bisa diajak nongkrong karena sudah menikah atau sibuk mengurus anak, saya mulai merasa sedikit terasing. Bukan hanya beberapa teman, tetapi banyak yang sudah berkeluarga dan menata hidup dengan pasangan mereka. Perlahan, saya menjadi bagian dari kelompok minoritas di antara teman-teman, baik teman kuliah maupun teman sekolah. Bahkan, banyak adik kelas yang sudah sering memposting momen kebahagiaan bersama anak-anak mereka di media sosial, seolah-olah membentuk realitas baru di mana saya seakan tertinggal.


Pertanyaan seperti "Kapan nikah?", "Calonnya orang mana?", atau "Sudah ada calon apa belum?" dulu terdengar seperti penghinaan di telinga saya. Momen lebaran dan acara reuni keluarga menjadi saat-saat yang penuh tekanan, seolah-olah saya tahu bahwa kalimat-kalimat penghakiman akan menghujani saya dari berbagai arah. Padahal, sebenarnya mereka hanya menanyakan hal-hal yang terdengar biasa, seperti "Kapan nikah?", "Calonnya dari mana?" atau "Sudah ada calon?". Namun bagi saya saat itu, semua pertanyaan tersebut terasa menyakitkan.


Mungkin itulah sebabnya sekarang saya memilih untuk tidak menanyakan hal-hal pribadi seperti itu kepada orang lain, seperti kapan menikah atau kapan punya anak. Saya sadar bahwa pertanyaan-pertanyaan yang tampaknya sederhana itu bisa berubah menjadi beban berat di telinga seseorang, terutama ketika suasana hati mereka sedang tidak baik.


Pada awal tahun 2020, ketika pandemi Covid-19 mulai menyebar dan masuk ke Indonesia, ibuku menawarkan untuk mengenalkan aku dengan seorang gadis. Tanpa berpikir panjang, aku langsung setuju. Siapa tahu, mungkin saja dia adalah jodohku. Lagipula, kita tidak pernah tahu dari mana jodoh itu akan datang, bukan? Yang penting, usaha dulu. Jodoh bisa tiba di saat dan tempat yang tidak terduga, dan bagiku, ini adalah kesempatan yang patut dicoba.


Saat itu, aku sedang berada di luar kota, tepatnya di Lhokseumawe, Aceh. Ibuku meminta aku untuk mengirimkan foto terbaru. Bagi seseorang yang pemalu sepertiku, mengirim foto diri kepada orang yang belum dikenal rasanya seperti berbicara dengan orang asing—canggung dan tidak nyaman. Ya, memang sesederhana itu, tapi tetap saja aku merasa seperti tampil di atas panggung di de.


Sebelumnya, aku memang sering mengambil foto di tempat kerja, tapi hanya untuk koleksi pribadi—sekadar memenuhi galeri ponsel. Setelah memilih-milih foto yang ada, akhirnya kukirim foto yang menurutku paling "ganteng", lengkap dengan baju kerja dan laptop di tangan, kalau tidak salah ingat. Biar terlihat lebih keren, pikirku.


Tak lama setelah kukirim fotoku kepada ibuku, beliau membalas dengan mengirimkan foto gadis yang ingin dikenalkan. Foto itu adalah foto wisudanya, hasil dari foto cetak yang difoto ulang, sehingga ada pantulan cahaya lampu yang membuatnya sedikit buram. Meskipun begitu, gadis ini terlihat cukup menarik—cantik, dan yang paling penting, ada kesan pintar yang terpancar dari wajahnya.


Namun, meski tertarik, aku tetap merasa malu untuk mengambil langkah pertama. Membayangkan harus meneleponnya lebih dulu atau bahkan bertemu langsung membuatku ragu. Rasa canggung itu tiba-tiba muncul, seolah ada jarak tak kasat mata yang menahan langkahku.

Foto Wisuda yang dikirim ke ibuku


Belum selesai aku membalas pesan WhatsApp dari ibuku, ada pesan WhatsApp lain masuk dengan nomor yang belum ada namanya. Setelah kubalas WhatsApp ibuku, dengan menanyakan siapa namanya, lalu kubukalah pesan dari nomor yang belum ada namanya tersebut. Ternyata, pesan tersebut dari gadis yang akan dikenalkan itu. Isi pesannya adalah memperkenalkan diri namanya Novi, Tetanga Pak Ipul. Nah, pak ipul ini adalah suami dari temannya ibuku. Lalu kubalas pesan tersebut dengan memperkenalkan diri juga.

Chat Pertama kita

Dari pesan di WhatsApp itu, obrolan kami berlanjut. Jangan bayangkan obrolan kami di WhatsApp seru dan penuh antusiasme. Bahkan sebaliknya, aku sering lama membalas setiap pesan yang dikirimkan olehnya. Bukan karena segan atau apa, justru sebaliknya. Setiap kali Novi mengirim pesan, aku selalu memikirkan kata-kata yang tepat untuk membalasnya, sehingga kadang butuh berjam-jam sebelum akhirnya aku membalas pesannya. Aku khawatir jika ada kata-kata yang tidak tepat, Novi bisa merasa ilfil denganku. Jadi, setiap kata yang kuketik untuk membalas pesannya memerlukan waktu yang cukup lama.

Tak terasa, kami berdua sudah saling berkirim pesan di WhatsApp selama seminggu, tetapi belum sekalipun bertemu, karena aku masih di Lhokseumawe, sedangkan Novi di Tulungagung. Untuk janjian bertemu pun, kami belum merencanakannya, karena kepulanganku ke Jawa belum pasti. Jangankan bertemu, selama seminggu ini kami bahkan belum saling mendengar suara masing-masing. Kami hanya berkomunikasi melalui pesan WhatsApp saja selama seminggu ini.

Bukannya aku tidak mau menelepon atau bagaimana, sama seperti ketika membalas pesan, aku hanya takut salah ngomong dan membuat Novi ilfil kepadaku. Kalau lewat pesan, aku bisa tidak langsung membalas sembari merangkai kata agar tepat dan tidak membuat ilfil. Sedangkan kalau menelepon, kita harus langsung menanggapi lawan bicara. Nah, itu yang aku khawatirkan—kalau harus ngobrol lewat telepon, aku harus spontan dan tidak bisa terlalu banyak berpikir untuk merespons.

Entah sudah hari ke berapa, saya lupa—yang jelas, sudah lebih dari seminggu sejak obrolan pertama kami, dan akhirnya aku memberanikan diri untuk mengajaknya menelepon. Jujur, dalam hati aku sebenarnya berharap dia menolak, biar aku tidak perlu merasa terbebani kalau nanti salah bicara di telepon. Tapi ternyata, Novi langsung setuju, dan deg-degan pun makin tak terbendung. Sudah aku ini orangnya gampang gugup, ditambah harus berpikir ekstra supaya omongan lancar dan tidak asal.


Yang lucu, baru-baru ini aku baru tahu bahwa saat itu Novi sudah berdandan rapi, karena dia mengira aku akan mengajaknya video call. Padahal, niatku hanya sebatas voice call saja. Duh, maaf ya, sudah sampai effort dandan tapi malah cuma dapat ajakan voice call, bukan video call.


Kalau dipikir-pikir, mengajak video call saja rasanya sudah seperti tantangan besar, apalagi kalau membayangkan ekspresi muka dan tatapan langsung. Untuk sekadar voice call saja sudah butuh persiapan mental yang luar biasa, dan tetap saja rasa deg-degannya tidak hilang-hilang.


Beberapa hari berlalu sejak telepon itu. Kami semakin sering berkirim pesan lewat WhatsApp, membahas segala hal mulai dari cerita sehari-hari hingga hal-hal kecil yang mengisi waktu kami. Hingga akhirnya, pekerjaan di Lhokseumawe selesai, dan waktunya aku kembali ke Pulau Jawa. Jadwal kepulanganku sudah ditentukan, dan kabar ini membuatku merasa campur aduk—senang, sekaligus deg-degan.


Rasa senang dan deg-degan ini muncul karena satu alasan: aku akan bertemu Novi. Aku gembira karena, setelah berminggu-minggu bertukar pesan, akhirnya kami bisa bertemu langsung. Selama ini, obrolan kami begitu nyambung dan selalu ada saja yang dibicarakan. Tapi, ada juga rasa khawatir yang diam-diam muncul. Aku ini orangnya mudah grogi, apalagi membayangkan pertemuan pertama. Bagaimana kalau nanti ternyata aku tidak seperti yang Novi bayangkan? Bagaimana jika, setelah bertemu, aku tidak sesuai harapannya? Pikiran-pikiran itu terus menghantui, tapi mungkin memang wajar adanya.


Namun, aku mencoba menenangkan diri. Bagaimana pun, momen ini adalah sesuatu yang sudah lama kunantikan, dan mungkin perasaan campur aduk ini hanyalah bagian dari proses untuk menghadapi pertemuan pertama kami.


Kami sudah menjadwalkan pertemuan pertama—atau mungkin lebih tepatnya "ketemuan," biar kesannya lebih santai. Ketemuan yang sudah lama kami bicarakan ini akan diadakan di rumahnya. Karena aku belum tahu di mana alamat rumahnya, aku memutuskan pergi bersama ibu dan bapak ke rumah Pak Ipul, orang yang memperkenalkan kami dan menjembatani perkenalan ini dari awal.


Sore itu, kami bertiga tiba di rumah Pak Ipul. Tak lama setelah duduk di ruang tamu, Pak Ipul mengajak kami pergi ke rumah Novi, tapi ternyata bapak dan ibuku tidak ikut. Kata mereka, kesempatan pertama ini biar kami berdua saja yang saling mengenal. Akhirnya, aku dibonceng Pak Ipul dengan sepeda motornya menuju rumah Novi, sementara bapak dan ibuku menunggu di rumah Pak Ipul bersama istrinya, yang merupakan teman ibuku.


Selama di jalan menuju rumah Novi aku berharap perjalanannya akan lama, karena aku masih belum siap mental. Tidak seperti harapanku, ternyata perjalanan ini cukup singkat, biasanya seperti itu. Ketika berharap waktu berjalan lambat, ternyata malah terasa cepat.

Aku dan Pak Ipul akhirnya sampai di rumah Novi. Pak Ipul mengetuk pintu yang sedikit terbuka sambil mengucapkan salam. Tak lama, seorang pria berusia sekitar lima puluhan keluar menyambut kami. Dalam hati, aku menebak, “Pasti ini bapaknya Novi.” Dengan sedikit gugup, aku bersalaman dengannya sambil menyerahkan oleh-oleh yang sudah kusiapkan dari Lhokseumawe kemarin.


Bapak Novi menerima oleh-oleh itu dengan ramah dan mempersilakan kami masuk. Aku dan Pak Ipul kemudian duduk di ruang tamu. Dalam hati, aku berharap ini menjadi awal yang baik, meskipun rasa deg-degan tak kunjung hilang sejak awal.


Tak lama setelah kami duduk dengan perasaan tegang dan nervous, tiba-tiba Novi muncul sambil tersenyum lebar, bahkan tertawa kecil, lalu menyalami kami berdua. Itulah momen pertemuan pertama kami—setelah berminggu-minggu hanya berkirim pesan di WhatsApp, akhirnya aku bisa melihat Novi secara langsung.


Saat Novi datang mendekat, deg-deganku makin menjadi-jadi; rasanya tanganku dingin seperti es ketika kami berjabat tangan. Kesan pertama yang langsung muncul di benakku adalah bahwa Novi ini orang yang ceria—baru saja bertemu, dia sudah menyambut kami dengan tawa hangat dan senyum yang begitu tulus. Di momen itu, segala obrolan dan pesan yang pernah kami tukarkan di WhatsApp terasa seolah hidup kembali. Ternyata, dari layar ke dunia nyata, kesan ceria itu memang benar-benar ada pada dirinya.


Dengan perasaan grogi dan canggung, aku mencoba mengobrol dengan Novi, meski suasananya masih terasa kaku dan kikuk. Namanya juga baru pertama kali bertemu, jadi wajar kalau ada rasa malu-malu dan sedikit jaim. Setiap kata yang keluar rasanya harus dipilih hati-hati, dan detak jantungku masih tak beraturan.


Di tengah obrolan kami yang sesekali terhenti oleh rasa canggung, tiba-tiba Ibu Novi muncul membawa hidangan: nasi, lauk, sayur, dan berbagai pelengkap lainnya. Kehadiran makanan itu seperti angin segar, memberikan jeda di tengah ketegangan yang kurasakan sejak tadi. Setidaknya, dengan makanan di depan mata, ada kesempatan untuk sedikit mengalihkan fokus dan melepas rasa tegang ini. Aku merasa sedikit lebih nyaman—percakapan pun mulai mengalir, dan perlahan suasana jadi terasa lebih hangat.


Hari yang semakin sore menjadi alasan untuk pamit pulang. Aku berada di rumah Novi tak sampai satu jam, mungkin hanya sekitar 45 menit. Tak banyak obrolan yang kami tukarkan, tapi pertemuan singkat ini cukup untuk membuat kesan pertama yang tak terlupakan.


Di perjalanan pulang, ada perasaan lega yang perlahan muncul—lega karena aku berhasil mengalahkan rasa takut dan canggung dalam diriku sendiri. Meski pertemuan ini sederhana, aku merasa bangga pada diri sendiri karena sudah berani melangkah melewati batasan yang selama ini menahan. Sore itu, diiringi embusan angin dan deru kendaraan, ada kepuasan tersendiri karena aku berhasil keluar dari zona nyaman, bahkan meski hanya untuk pertemuan singkat.


Saat kami kembali tiba di rumah Pak Ipul, hari sudah semakin sore, bahkan langit mulai temaram. Kami pun segera berpamitan. Di perjalanan pulang, suara azan magrib mulai terdengar bersahut-sahutan dari musholla-musholla yang kami lewati. Kami akhirnya memutuskan berhenti sejenak di sebuah musholla kecil untuk menunaikan sholat magrib.


Setelah selesai sholat, kami kembali melanjutkan perjalanan menuju rumah. Jalanan malam terasa lengang, hanya suara kendaraan sesekali yang menemani sepanjang jalan. Sekitar satu jam kemudian, ketika kami sampai di rumah, azan isya' pun berkumandang, seolah menyambut kami yang akhirnya tiba dengan selamat. 


Sampai di rumah, aku langsung memeriksa ponsel, penasaran apakah ada pesan dari Novi atau tidak. Kubuka layar dengan perlahan, dan terlihat ada notifikasi WhatsApp. Degup jantungku makin kencang saat layar ponsel akhirnya terbuka. Namun, alangkah kecewanya aku saat menyadari bahwa pesan itu bukan dari Novi.


Sejenak aku bertanya-tanya dalam hati, apakah mungkin Novi tidak tertarik atau bahkan ilfil setelah pertemuan tadi? Dengan perasaan campur aduk, aku menunggu pesan darinya sambil menjalankan sholat isya’. Beberapa menit berlalu, dan pesan yang kutunggu-tunggu tetap tak kunjung datang. Meski begitu, aku mencoba berpikir positif—mungkin saja Novi sedang sibuk atau ada urusan lain, sehingga belum sempat memeriksa ponselnya. Aku terus menanti dengan harapan dan sedikit cemas, berharap pesan dari Novi akhirnya datang dan memberikan tanda bahwa semuanya baik-baik saja.


Mungkin sudah satu jam berlalu sejak aku tiba di rumah tadi. Kesabaranku menunggu pesan dari Novi akhirnya mencapai batasnya. Kuberanikan diri untuk mengirim pesan lebih dulu. Lega rasanya ketika Novi segera membalas, dan dalam sekejap, obrolan kami pun mengalir kembali seperti biasa.


Di tengah percakapan, kami mulai membahas rencana perkenalan Novi dengan keluargaku. Setelah saling bertukar pendapat, kami pun sepakat. Beberapa hari ke depan, aku akan menjemput Novi dan membawanya ke rumahku. Bayangan pertemuan itu membuat harapanku tumbuh—momen istimewa yang mungkin akan mengubah hubungan kami selangkah lebih dekat.


Hari yang direncanakan akhirnya tiba. Sejak pagi, aku sudah mempersiapkan diri untuk momen ini, terutama dari segi mental. Ini adalah pertemuan yang penting, dan rasanya tak ingin ada yang kurang dalam segala persiapan.


Jika kemarin aku pergi bersama bapak dan ibu dengan mobil, kali ini aku akan pergi sendiri dengan motor. Dengan begitu, aku bisa mengambil rute yang lebih singkat melalui perahu penyeberangan, tidak perlu memutar jauh seperti sebelumnya yang memakan waktu hampir satu jam.


Meski rute ini lebih cepat, aku sengaja tidak memacu motor terlalu kencang. Selain karena ini pertama kalinya aku menyusuri jalur tersebut, aku juga ingin memberi waktu pada diri sendiri untuk menenangkan hati dan mempersiapkan mental untuk pertemuan dengan Novi. Sepanjang perjalanan, pikiranku terus berputar, membayangkan momen saat akhirnya kami bertemu lagi.


Walaupun aku tidak memacu motor terlalu kencang, rasanya perjalanan ini berlangsung begitu cepat. Sebelum sadar, aku sudah hampir sampai di rumah Novi. Namun, ketika mendekati gang menuju rumahnya, aku tiba-tiba tersadar bahwa aku sedikit lupa dengan ciri-ciri gang yang harus kumasuki. Maklum saja, ini baru kali kedua aku ke sini, dan ingatan tentang detail jalannya masih samar-samar. Alhasil, aku sempat kebablasan sedikit dan harus memutar balik untuk menemukan jalan yang benar. Meski begitu, kejadian kecil ini justru membuat perjalananku semakin terasa penuh cerita, seolah-olah ini adalah bagian dari rangkaian momen yang akan selalu kuingat, seperti yang kuceritakan saat ini.


Sesampainya di rumah Novi, aku disambut olehnya dengan senyuman manis. Novi tampak begitu cantik, jelas dia telah berdandan rapi untuk pertemuan ini. Dengan perasaan yang sedikit gugup, aku menyalaminya, mencoba menjaga ketenangan meskipun jantungku berdegup kencang. Setelah berjabat tangan, Novi mempersilakanku duduk, dan kami pun mulai mengobrol. Meskipun selama ini kami sudah cukup akrab lewat pesan-pesan di WhatsApp, ternyata bertemu langsung membawa suasana yang berbeda. Ada rasa canggung yang sulit kuhilangkan, membuat setiap percakapan terasa hati-hati.


Tak lama setelah kami berbincang, Novi mempersilakanku untuk sarapan. Meski sebenarnya aku sudah sarapan sebelum berangkat tadi, aku pun menerima tawarannya. Rasanya kurang sopan kalau menolak, apalagi ini adalah kunjungan penting. Selain itu, aku pikir mungkin dengan menikmati sarapan bersama ini, rasa canggung yang masih menyelimuti bisa sedikit berkurang. Aku pun mulai menyantap hidangan yang disajikan, mencoba menenangkan hati sambil sesekali melempar senyum dan mengobrol ringan. Momen sederhana ini terasa menyenangkan, membuat suasana perlahan mencair di antara kami.


Sekitar sepuluh menit setelah sarapan keduaku itu, aku memberanikan diri untuk meminta izin kepada bapak Novi agar aku bisa membawa Novi ke rumahku. Rencananya, hari ini Novi akan kukenalkan kepada kedua orang tuaku. Rasanya cukup mendebarkan, tetapi aku juga bersemangat untuk mempertemukan mereka. Setelah mendapat izin dan memastikan semuanya siap, kami pun berpamitan untuk berangkat.


Sepanjang perjalanan, kami mengobrol ringan untuk mencairkan suasana. Motor yang kupakai adalah motor tipe laki, dengan tangki di depan seperti motor naked, jadi mungkin terasa sedikit kurang nyaman bagi orang yang duduk di belakang. Namun, aku berusaha semaksimal mungkin agar Novi merasa nyaman saat duduk di jok belakang, membonceng di atas motor yang mungkin bukan pilihan paling ideal untuk perjalanan santai.


Aku mengendarai motor dengan hati-hati, menjaga kestabilan dan menghindari gerakan tiba-tiba. Sesekali, kutengok ke belakang untuk memastikan dia baik-baik saja dan tersenyum. Di sela obrolan kami, rasa canggung perlahan-lahan mulai pudar, berganti menjadi kehangatan dan kenyamanan yang semakin terasa akrab.


Tak terasa, kami sudah sampai di rumahku. Aku tidak tahu persis bagaimana perasaan Novi saat itu, tetapi bagiku, momen ini terasa begitu istimewa. Akhirnya, aku bisa mengenalkan seorang gadis kepada kedua orang tuaku, sesuatu yang selama ini hanya bisa kubayangkan. Meski perkenalan kami berawal dari suami teman ibuku, tetap saja ini menjadi momen pertama ibuku bertemu langsung dengan Novi. Setelah makan siang kemudian, aku mengantar Novi pulang. 


Beberapa hari kemudian, kedua orang tuaku menyampaikan niat mereka untuk berkunjung ke rumah Novi. Aku pun segera memberi tahu Novi bahwa orang tuaku berencana datang. Di sinilah hal menarik terjadi—sebuah kesalahpahaman kecil yang, tanpa kami duga, malah membuat suasana menjadi lebih hangat dan lucu.


Niat kami sebenarnya hanya untuk kunjungan biasa, agar keluarga kami dan keluarga Novi bisa saling mengenal lebih dekat. Namun, rupanya pihak keluarga Novi menganggap kunjungan kami ini sebagai acara lamaran. Kebingungan pun melanda kedua orang tuaku pada malam sebelum kunjungan, karena mereka sama sekali tidak mempersiapkan kunjungan ini sebagai prosesi lamaran.


Malam itu, orang tuaku sibuk mencari saudara yang bisa dijadikan perwakilan tetua dalam kunjungan "lamaran" ini. Karena situasi sudah terlanjur dianggap demikian, mereka memutuskan untuk sekalian menjadikannya momen lamaran yang resmi. Ibuku pun menghubungi paman dari ibuku yang merupakan adik dari nenekku—untuk ikut menemani dan mewakili keluarga. Akhirnya, kami pergi berempat untuk kunjungan yang, tanpa disangka-sangka, menjadi momen lamaran resmi.


Sesampainya di rumah Novi, ternyata sudah banyak orang yang hadir. Memang acara lamaran beneran ini kataku dalam hati. Karena kami tidak ada persiapan sama sekali, dan baru tahu kalau acara kunjungan itu berubah jadi lamaran, kami hanya membawa sedikit barang bawaan yang diperoleh dengan dadakan pula.


Kami berempat dipersilakan duduk, lalu mengobrol basa-basi sebentar untuk mencairkan suasana. Tak lama kemudian, Bapak pun menyampaikan maksud dan tujuan dari kunjungan silaturahmi ini. Aku dan Novi diminta duduk berdampingan saat itu. Detak jantungku terasa makin cepat ketika Bapak menanyakan hal yang sepertinya dinantikan banyak orang di ruangan itu: "Apakah kami sudah mantap dan siap untuk melangkah ke jenjang rumah tangga?"


Aku dan Novi saling bertatapan sejenak, lalu dengan mantap menjawab, "Siap." Jawaban kami disambut senyum lega dan bahagia dari keluarga yang hadir. Setelah momen itu, suasana terasa semakin hangat dan penuh keakraban. Tak lama, kami semua menikmati hidangan bersama, seakan makan tersebut menjadi awal dari kebersamaan yang lebih erat di antara dua keluarga.


Sekitar seminggu kemudian, tiba giliran keluarga Novi berkunjung ke rumahku. Namun, pada kunjungan kali ini, Novi tidak ikut, begitu pula aku yang sedang berada di Surabaya. Kunjungan itu bertujuan untuk mempererat silaturahmi sekaligus memastikan bahwa keluarga dari kedua belah pihak telah sepenuhnya merestui hubungan kami. Selain itu, momen ini juga dimanfaatkan untuk membicarakan detail penting lainnya, termasuk menetapkan tanggal pernikahan kami.


Dari hasil diskusi dan perhitungan, pernikahan kami diputuskan masih awal tahun depan atau tahun 2021, saat penentuan tanggal itu. Artinya, masih delapan bulan lagi. Delapan bulan waktu yang cukup untuk mempersapkan semuanya. 


Delapan bulan berlalu, tanggal yang ditentukan telah tiba. Selama delapan bulan yang kita lewati bersama banyak cerita suka, duka dan asam garam untuk bumbu sebuah hubungan. Walaupun banyak asam garam, kami berhasil melewatinya hingga sampailah pada saat yang berbahagia. 


Kami melangsungkan akad nikah di rumah Novi pada selasa pagi tanggal hari ke dua belas pada bulan Januari. Saat itu pandemi Covid-19 sedang parah - parahnya, sehingga pernikahan kami harus dibatasi ketat oleh protokol kesehatan. Meskipun begitu, acara berlangsung lancar khidmad. Setelah hampir setahun aku berkenalan dengan Novi, Akhirnya aku menjadi suaminya.


Cerita ini belum berakhir, ini hanyalah awal dari kisah rumah tangga kami yang semoga happy ending hingga maut memisahkan kami. Sebagai penutup kisah ini, aku ucapkan selamat Tahun Istriku, semoga engkau sehat selalu, lancar rejekinya, semakin sabar menghadapiku dan syanum.


Artikel menarik lainnya :

Nizar Aditya

About Nizar Aditya

I'm an Engineer, Writer and Dreamer